Jumat, 02 Desember 2016

Mengembangkan Usaha Berbasis Inovasi

Inovasi dan teknologi dibutuhkan dalam banyak aspek kehidupan manusia. Dari waktu-ke-waktu, manusia mengembangkan teknologi dan berinovasi agar dapat memberikan manfaat lebih bagi manusia lain. Adapun menurut saya, sampai saat ini, kebanyakan orang merasa bahwa mengembangkan usaha berbasis inovasi memiliki tingkat ketidak-pastian yang tinggi, sehingga ia enggan terjun ke dalamnya.

Keengganan perusahaan mengembangkan usaha berbasis inovasi dan teknologi berdampak negatif bagi konsumen. Semangat dan kapasitas entrepreneur yang disalurkan ke dalam suatu sektor industri yang sudah established akan menambah kompetisi dalam industri (Red-Ocean). Penguasaan atas pasar/konsumen terlalu bergantung pada faktor modal dan hubungan. Untuk dapat mempertahankan kekuasaannya terhadap pasar, suatu usaha menggunakan modalnya untuk meningkatkan kualitas hubungannya, dan menggunakan hubungannya untuk meningkatkan kuantitas modalnya. Usaha tersebut enggan berupaya untuk dapat memberikan nilai tambah lebih bagi konsumen-nya (better, faster, cheaper, safer dsb), sehingga tidak terjadi peningkatan potensi bagi konsumen untuk berupaya lebih.

Keengganan tersebut tidak relevan, karena ketidak-pastian dalam mengembangkan usaha berbasis inovasi adalah probabilitas suatu kejadian. Selama perusahaan tekun, sabar dan dapat menjaga kehati-hatian dalam mengambil langkah, perusahaan tidak perlu ragu mengembangkan usaha berbasis inovasi. Sebagai ilustrasi perjalanan, mengembangkan usaha berbasis inovasi dan teknologi terceritakan melalui gambar dibawah (Geoffrey A. Moore & Paul Wiefls). Gambar diagram tersebut dikenal sebagai TALC atau Technology Adoption Life Cycle.


Early Market
Terjadi ketika suatu inovasi/teknologi mulai dapat disalurkan sebagai solusi pada konsumen dan memberikan suatu ROI/nilai tambah.
  • Consumer : Technology Enthusiast & Visionaries
  • Consumer Goal : Competitive Advantage
  • Consumer Need : Potential of Technology
  • Funding : Specialist Venture, Idealism Equity
  • Competition : Category vs. Category
  • Producer Goal : Validate the Technology
  • Strategy : Demo the Technology
  • Skills : Profisiensi Teknologi
  • Style : Evangelism
  • Discipline : Product Leadership
Chasm & Bowling Alley
Chasm terjadi ketika penjualan suatu solusi berbasis inovasi/teknologi stagnan, menurun atau bahkan tidak ada penjualan sama sekali. Bowling Alley terjadi ketika penjualan solusi berbasis/teknologi mulai naik lagi dan menemukan segmen-segmen pasar yang dapat memanfaatkan inovasi/teknologi untuk aplikasi/manfaat/tujuan yang berbeda-beda.
  • Consumer : Visionaries & Early Pragmatist
  • Consumer Goal : Solve Problems
  • Consumer Need : Complete Solution
  • Funding : Sector Venture Capital, Project Financing
  • Competition : Application vs. Application
  • Producer Goal : Segment Share
  • Strategy : Show ROI
  • Skills : Customer Intimacy
  • Style : Consultative
  • Discipline : Product Leadership & Customer Intimacy
Tornado
Terjadi ketika suatu solusi berbasis inovasi/teknologi mulai mendapatkan peningkatan permintaan dari pasar/konsumen secara signifikan. Market Demand Boom.
  • Consumer : Pragmatist
  • Consumer Goal : Adopt new paradigm
  • Consumer Need : Make Safe Choice
  • Funding : General Venture Capital, Bank Financing
  • Competition : Company vs. Company
  • Producer Goal : Market Share
  • Strategy : Gorilla Power
  • Skills : Closing Deals
  • Style : Authoritative
  • Discipline : Product Leadership & Operation Excellence
MainStreet
Terjadi ketika suatu solusi berbasis inovasi/teknologi mulai dapat disalurkan pada konsumen dan memberikan suatu ROI/nilai tambah.
  • Consumer : Conservatives
  • Consumer Goal : Extend Paradigm
  • Consumer Need : Better Value
  • Funding : Packaged Public Investment Product
  • Competition : Product vs. Product
  • Producer Goal : Profitability
  • Strategy : Segment Focus
  • Skills : Relationship Management
  • Style : Transactional
  • Discipline : Operational Excellence & Customer Intimacy

Total Assimilation to Generic Product

Apabila Inovasi berhasil melalui TALC, ia telah berasimilasi dalam pasar menjadi suatu produk yang tenar dan umum di pasar (sudah menjadi produk dengan suatu kategori produk baru). Teknologi tersebut masuk ke dalam Product Life Cycle, sampai kemudian ada Inovasi baru yang membuatnya tidak relevan lagi. Strategy : 4P (Product, Place, Promotion, Price)

Rabu, 10 Februari 2016

Enteprise Architecture


Slide 1: High Level Enterprise Architecture by Stuart L. Whitman

Pada dasarnya enterprise architecture management menjawab pertanyaan besar setiap organisasi seperti; Apakah IT suatu organisasi saat ini telah memberikan nilai tambah yang optimal terhadap Bisnis? Apakah Bisnis saat ini telah didukung IT secara optimal? Apa dampak dari sesuatu perubahan (penerapan suatu standard baru, implementasi teknologi baru) terhadap enteprise secara keseluruhan? Bagaimana suatu enteprise harus dirancang di masa datang untuk menjawab tantangan bisnis?

Enteprise architecture (EA)memandang arsitektur suatu enterprise menjadi beberapa layer, umumnya menjadi: (1) layer proses bisnis (2) layer informasi/data (3) layer aplikasi (4) layer standar teknologi/infrastruktur, untuk kemudian menghubungkan suatu komponen dengan komponen-komponen di layer yang sama atau berlainan (sebagai suatu snippet misalnya: Procurement Process --> Purchase Order --> Procurement Application --> MS-SQL Server --> Dell Server). Keberadaan transparansi ini memudahkan upaya perbaikan proses bisnis karena menyediakan suatu informasi yang menyeluruh mengenai dampak dan keterkaitan perbaikan suatu proses bisnis dengan proses bisnis lain dan infrastruktur teknologi informasi yang mendukungnya. Disisi lain kebijakan teknologi informasi juga dapat lebih terukur dampaknya karena dampak terhadap proses-bisnisnya terdeteksi sejak awal.

Konteks manajemen masuk ketika EA di "PDAC"-kan (plan, do, check, action). EA dijadikan suatu bahasa yang memfasilitasi komunikasi antara LOB (Line-of-Business) dengan departemen IT dalam inisiatif-inisiatif yang berkaitan dengan perbaikan proses bisnis dan/atau penerbitan kebijakan-kebijakan IT (AS-IS vs. TO-BE). EA dijadikan acuan dalam perencanaan, eksekusi dan review dari perbaikan proses bisnis, implementasi/pengadaan perangkat-perangkat IT, pengembangan aplikasi, penerapan kebijakan IT dan sebagainya. EAmenjadi suatu acuan bagi manajemen dalam melihat permasalahan dan merancang solusi berkaitan dengan proses bisnis/IT suatu enterprise. Dengan demikian Enterprise Architecture Management menyelaraskan IT dengan Bisnis.

Walaupun demikian, enteprise architecture pada dasarnya adalah suatu disiplin business optimzation. Nilai tambah terbesarnya adalah suatu sumbangsih pemikiran bahwa waste juga dapat terjadi di departemen IT. Selain daripada itu, dari sisi pandang lain ia menyediakan transparansi terhadap investasi IT sehingga disiplin ini memiliki ketertarikan bagi Auditor dan Finance Manager.



Slide 2: Alfabet's Logical IT Inventory


Apabila anda tertarik enterprise architecture management, Sebagai referensi pembuka (yang dalam pandangan saya obyektif karena hasil internalisasi dari berbagai sumber), anda dapat men-download file kompilasi EnterpriseArchitecture.pdf.

Referensi lain yang cukup obyektif tentang enterprise architecture ini adalah TOGAF.

Sabtu, 20 Desember 2014

Substansi Business Intelligence

Baru di tahun 2007, saya membaca suatu tulisan Business Intelligence (BI) yang disusun dalam perspektif non-IT oleh Scott Moeller & Chris Brady. Dalam tulisannya ia menyatakan bahwa BI adalah suatu hal yang sangat menentukan untuk survival dan sustainability perusahaan.

Dalam setiap situasi dan kondisi, manajemen suatu perusahaan secara berkesinambungan berintrospeksi tentang apa yang sedang dilakukan, apa yang akan akan dilakukan, dan apakah perusahaan sedang berjalan kesuatu arah yang aman/selamat bagi stakeholder dalam jangka panjang. Kebijakan dan keputusan yang berkualitas tentang hal ini sangat amat ditentukan oleh intelligence yang berkualitas.

Kutipan dibawah ini bermanfaat untuk pemahaman kita akan intelligence:

“It will not do to act without knowing the condition; and to know the condition is impossible without intelligence”

Menciptakan intelligence yang berkualitas, dilakukan dengan continuous improvement terhadap sesuatu yang disebut oleh Stafford Beer sebagai “System Four: The Intelligence System”. Beer menyatakan bahwa ada 5 fungsi yang harus ada dalam setiap organisasi apabila ia ingin survive:
  1. System One: Operation
  2. System Two: Coordination
  3. System Three: Monitoring
  4. System Four: Intelligence
  5. System Five: Policy
Perlu juga dipahami bahwa kegagalan intelligence dapat terjadi, walaupun seluruh informasi tersedia, karena kurangnya analisa yang mana hal tersebut dibutuhkan untuk mengambil kebijakan atau keputusan.

Saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa System Three: focus on Internal & Present dan System Four: focus on External & Future, karena kelima sistem tersebut menerima input informasi dari, dan memberikan output informasi kepada internal dan eksternal. Perlu disadari bahwa pengembangan sistem seringkali lebih focus on Internal & Present dan kurang focus on External & Future, dan perlu juga diakui Internal & Present lebih mudah dibanding External & Future.

Kalau bisa disebut ‘produk’, System Four menghasilkan output sebagai berikut:
  1. Immediate intelligence; biasanya tersedia 24 jam, bersifat open source, no analysis, alert basis/daily briefing.
  2. Continuing intelligence; suatu analisa regular yang tedokumentasi dalam suatu database penampungan informasi. Produk ini memerlukan monitoring secara konsisten terhadap internal, eksternal, tren, anomali dll yang berpengaruh terhadap survivability organisasi.
  3. Technical Intelligence; biasanya organisasi mendekatkan diri pada lembaga-lembaga riset untuk terus dapat up-to-date terhadap perkembangan teknologi.
  4. Analytical Intelligence; perlu dikembangkan indikator2 yang lengkap. Isinya adalah environment scanning (sektor, peraturan, politik, sosial). Sinyalemen dari lingkungan yang muncul kemudian diperiksa terhadap indikator yang sebelumnya dikembangkan. Untuk menghasilkan produk ini, perusahaan harus mengembangkan absortive capacity, yaitu kemampuan organisasi untuk mengetahui value dari informasi, mencerna-nya dan mengaplikasikan bagi perusahaan. Tidak kalah penting sebagai bagian dari produk ini adalah scenario planning.
  5. Internal Intelligence Consulting; memasukkan analyst dalam tim proyek sehingga ia mampu memberikan input intelligence tepat waktu dan tepat guna.
  6. Activated Intelligence; dilakukan atas permintaan client (internal) dan dibuat khusus untuk permintaan tersebut. Seringkali dibutuhkan ketika negosiasi/kerjasama/perjanjian sedang dilakukan.
  7. Counter intelligence; mencakup aktifitas yang dilakukan untuk melindungi perusahaan agar damage bisa diminimalisir. Sebaiknya hal ini dilakukan atas output System Five. Walaupun sulit dikendalikan, sebelum produk ini di-distribusikan, harus dipikirkan matang-matang efek pantulnya (ricochet effect) agar tidak disesali kemudian.
System Four yang berkualitas dapat membedakan input informasi, dis-informasi (hasil counter intelligence) dan noise. Agar Produk intelligence berkualitas, inputnya harus bersih dari dis-informasi dan noise. Membersihkan input dari dis-informasi dan noise membutuhkan tenaga dan waktu, hal ini tidak perlu dipandang sebagai suatu biaya.

Walupun kita sadar bahwa External & Future intelligence adalah komponen yang substansial terhadap strategi perusahaan; menyakinkan organisasi agar ia mau memandang hal ini sebagai fungsi yang harus dijalankan, tidaklah mudah. Ini suatu permasalahan budaya organisasi, yang sering terlewat dalam Risk Assessment. Adapun perlu disadari potensi insentif intelektual yang didapat individu-individu organisasi apabila ia menjalankannya. Karena bukan biaya, investasi terbesarnya adalah kesabaran dan ketekunan.

 ‘The race for survival in this world is not to the strongest but to the most adaptive’.

Minggu, 27 Juli 2014

Delivering on Tasks

It has always been an aspiration of every person to be able to deliver on his/her accountability… to complete a mission… to finish a task… thereby “at least” two smiles are created upon the delivery, the happy and smile of the person who delivers on his/her task… and the relieved smile of the person who assigned the task. And when the task is so meaningful that it is formulated based on sound principles and good intentions, and where the execution of the task is maintained so that it “does no harm” : the impact of the delivery of the task multiplies… creating smiles beyond the two persons mentioned in this paragraph.

In the mind of the writer, the word “accountable” translates to the same meaning to the word “amanah” in Indonesian.  With both words in mind, we become respectful to an object of accountability that is task, a state where a person does not take lightly the assignment of task and the acceptance of accountability. We should observe the person who assigns a task, that person holds the delivery of that task dear to him, whereby a non delivery of that task is something that is an object of unhappiness and burdensome. Let us also observe the person who accepts the accountability of delivering the task… upon the acceptance of the task, the person who accepts the task is suddenly liable of the “delivery of the task”. The task has become a promise, whereby one made a promise to deliver a task to the other. At a point in time afterwards, the fulfillment of that promise relieves the one that accepts the task from being liable … and that fulfillment also produce happiness to the one who receives the fulfillment of that promise, whom is the one who assigned the task.

An example of such is when your husband fix your broken laptop… both of you are happy. Or when a manager whom is a subordinate of yours achieve his/her target… or when your company gets that ISO certification. What was your experience? What did you as a group experience? How was the flow?



At work, we assign and accept accountability… we assign and accept tasks. We are happy when a task that we assigned to others is fulfilled and happy when a task that we accepted is delivered… and we worry when what happens is the opposite. The objective of the conversation that we are having through this article is to ensure that the opposite does not happen. Thereby we may become a person with a characteristic known as “accountable”... and thereby become and contributes to a society that is not only happy... but also delivers to itself and to others.

Clarity and Purpose

It has been concluded by the understanding and experience of the writer, that the problems of tasking is to have clarity. Ask yourself the questions; how often did you accept a task that is somewhat hazzy? how often did you assigned an unclear task? What happened during the execution of that hazzy/unclear task? Were there frustration? Where there grievances? With the answers in mind, then comes the question: “What is a clear task?”.  Based on consults, experience and reasons, I think you would agree with me that a clear tasks constitutes of four elements:
  1. The goals, with clear expectation on what is to be delivered (quality/quantity) and by when (dd/mm/yy).
  2. The method of execution employed to reach the goals.
  3. The resources required for the execution towards that goals
  4. The boundaries and limits that constraint the execution towards that goals
What was often skipped by both the person who assigns the task and the person who accepts the task is the process to have that clarity, even when both have that thrust of will to finish the task. This process can be termed as “task formulation”… a discussion… a conversation… (that can be carried out over a duration as short as a phone conversation to as long as many long deep discussions) in between a person who is going to assign the task and a person who is going to accept the task… towards having a “clear task” whereby one can say “I assigned this task to you” and the other can say “I accept this task from you”.

This practice of task formulation is a “must”… it mitigates the risk where one creates the illusion of being able to assign a task and being able to accept a task. Having that clarity gave comfort that a task can and will be delivered as expected... while at the same time saves us from expecting an delivery of a not yet possible/not yet realistic task, hence the word “illusion” was used.

There is another that is of most importance but not at the same dimension with that four elements of a clear task, that one is what we call the Context of the Task. In my perspective, the context of the task creates the drive, the spirit, the thrust, the motivation, the perseverance, the flexibility if not innovativeness, the rigidity if not the firmness that surrounds the execution of the task towards reaching the goal. The context discusses and explain the why of the task, the meaning of the task, the importance of the task, the priority of the task in comparison to other tasks, what does it mean for the organization, for a community, for a country, are there or will there be any other persons/units doing another task that intertwines with the task being discussed, will the task branches to another tasks, are there related task, is the task a routine one or an emergency one..

Thus a task with a clear context wills a task to be purposeful, thereby warrants the dutifulness during execution, thereby also contributes greatly in the certainty of task delivery. What needs to be reminded though… is that what can come also with a purposeful context is the desire to start executing an unclear task, so it is always best and save to utilize that desire towards the creation of clarity of the task.

Easy and Hard

When you know enough about the work required to complete a certain task (have experienced it before), you’ll find it is easy to define the task and grasp its context. Thereby you will find it also easy to spot the risk on whether to assign or not a certain task. Easy for the task giver to have that conclusion of “I am confident (or not) that you can deliver on the task”… Easy for the task bearer to have that conclusion of “I am confident (or not) that I can deliver on the task”. And when the giver and the bearer are both confident, then we have that situation of assigned and accepted.

But there were times … there will again be times… when we… especially as a person who will be assigning a task… don’t know enough about the work required to complete a task, then the process of formulating a task becomes lenghty. The process requires deep discussion, knowledge sharing, research, reasoning and learning while absorbing of data, information and knowledge while time does not sit still. And all that needs to be done to have that clarity and also to have a better context. At that point in time where we become confident, we have clearly define the task (the goals, the method of execution, the resources required, the boundaries and limits of execution) and also the context. In short: we have clear plan of actions and we are confident on the execution. Then it becomes easy…

An example of a quite lenghty task formulation is the process to come up with a company one year budget plan… I believe it has become a norm for every medium sized company to do this… the process takes the duration of at least two months. Within that process you realize the volume and intensity of self learning, group learning, clarification, context setting and other communication that happens horizontally and vertically within the organization. All that… so that the management of the organization can be de facto certified accountable at the end of next year for that 12 months plan that it creates.

Realizing so… we can have empathy on the complexity of formulating, assigning and accepting complex tasks to have a national container terminal starts operational by dd/mm/yy… or the complexity to task the launching of iphone 6 at Semester 2 last year… or the complexity to task a five year business and organization journey.

Bare in mind these states of drive in the lifecycle of our work:
  1. when people in organization start initiating tasks, when they work together to have clarity and purpose
  2. when people in organization assign and accept clear and purposeful tasks
  3. when people in organization execute the tasks and when team working are happening between givers and bearers
  4. when people in organization celebrate the completion of a task, where bearers fulfill the promise to givers
  5. when new situation unfolds a barrier not yet seen during task formulation, when that change challenge the thinking in task execution... risks changing agreed methods and resources requirement.
  6. when new situation unfolds a change of context, where affected tasks that is being executed wills redefinition and sometimes cancelation (for sigh or for sorrow)
  7. when people in organization who completes a task may have other related tasks that is not yet completed
  8. when the task is actually a task that change the state of the people within the organization itself
  9. when the risk of failing on the tasks risks people not just within the organization
I think the science/art of tasking is a subject not to be taken lightly, because the practice means so much to creation of a culture of accountability. We may fall short from time to time on the practice of accountability, thereby this article may serve as a reminder to the writer as well.

Sabtu, 19 Maret 2011

Self Governance & Amal Saleh

Istilah governance sering terdengar di telinga insan profesional perusahaan. Dalam ingatan penulis, istilah ini didengungkan di Indonesia melalui praktek Good Corporate Governance (GCG) di akhir tahun 1990an pasca krisis ekonomi. Promosi governance dilakukan karena ditemukan banyak kerusakan terhadap ekosistem kemasyarakatan dan lingkungan hidup yang terjadi karena insan ekonomi menyalah-gunakan kekuasaannya. Insan tersebut menyalahgunakan kekuasannya dengan mengoptimalkan posisi... sebagai pemilik, pengelola, direktur, atasan, pemegang saham, komisaris, anak, bapak, istri, kakak, adik, sepupu, cucu, saudara jauh, teman SMA dsb... dengan campur aduknya... untuk memaksimalkan suatu bentuk keuntungan duniawi pribadinya semata; lupa dan/atau tak sadar bahwa keuntungannya itu dapat mengakibatkan kerugian/kerusakan bagi khalayak yang lebih ramai.

Di tahun 2006, penulis pernah diingatkan oleh seorang rekan yang saat ini sudah menjadi professor dibidangnya, katanya," pilih mana pak, mau hidup cukup tapi kalau suatu saat susah banyak tetangga yang mau nolong... atau mau punya banyak uang tapi nggak ada yang mau jualan makanan kepada bapak... pilih mana pak? ". Penulis berterima kasih kepada rekan tersebut atas peringatan tadi, dan memang pada masa itu penulis berada di tahap awal kesadaran untuk menegakkan self-governance... atau amal saleh dalam pemaknaan istilah penulis sekarang.

Apabila pembaca dalam mood yang lebih santai, silahkan download tulisan ini dalam format komik.

Konflik dalam diri dan hubungan

Dalam perjalanan karir pembaca, pernahkah pembaca berada dalam situasi yang canggung/aneh ketika anda memiliki hubungan dengan orang lain secara pribadi sekaligus profesional? Bagaimana anda akan mengambil sikap, keputusan dan mengelola hubungan tersebut? Apabila namanya adalah Budi, apakah anda panggil ia Om Budi atau Pak Budi? Anda mempunyai dua hubungan dengan Pak Budi, hubungan sebagai paman dan hubungan sebagai atasan. Kapan... atau ketika apa... anda panggil ia Om Budi? Dan ketika apa anda panggil ia Pak Budi?

Apakah ketika anda gagal perform terhadap Pak Budi atasan anda, anda kemudian mengadu pada Ibu/Ayah anda untuk merayu Om Budi? Apakah ketika Pak Budi bertabiat menyimpang dikantor, Pak Budi akan bilang kepada anda "jangan bilang-bilang papa-mama nanti urusanmu aku gampangkan...". Atau... apakah anda yang akan mengancam "Pak Budi, kalau bapak tidak gampangkan urusan saya, akan saya adukan kelakuan bapak kepada mama dan papa"...

Paparan dalam paragraf diatas adalah tantangan self-governance. Tantangan tentang bagaimana mengambil keputusan untuk bersikap, berucap dan berbuat dalam kenyataan bahwa hubungan pribadi dan profesional bercampur-aduk. Apakah akan anda pisahkan sepisah-pisahnya? Apakah akan anda hilangkan kewajiban jiwa anda dalam menyuruh pada kebaikan dan mencegah dari kejahatan/keburukan? Apakah anda akan marah tentang urusan pribadi di rapat kantor, ataukah bersikap dingin dan apatis pada makan malam keluarga? Atas landasan fundamental atau dasar pemikiran apa anda marah atau apatis di setiap situasi dan kondisi? Pantaskah anda marah akan urusan pribadi di kantor? Pantaskah anda apatis terhadap pengerusakan lingkungan? Apabila anda telah bersikap pantas, apakah anda melakukannya sebagai suatu teknik manipulasi atas niat akumulasi keduniawian anda? Atau apakah anda melakukan kepantasan tadi sebagai suatu teknik amar ma'ruf nahi munkar atas niat ikhlas mengingatkan?

Dari definisi kata... Governed ber-sinonim dengan kata ruled (sadar aturan) dan juga controlled (terkendali) dan ber-antonim dengan kata unruly (tidak tau aturan). Penerapan self-governance berniat mencegah seseorang menyalahgunakan kewenangan/kekuasaan profesionalnya untuk kepentingan pribadi, disaat yang sama juga menuntut seseorang berfikir, bersikap dan bertindak adil (dan juga pas, pantas dan pada tempatnya) dalam kapasitas profesional dan pribadinya.

Fit and Proper Deeds

Etimologi kata saleh, diambil dari bahasa arab yang berarti good deeds, fit and suiting deeds. Atas dasar itulah penulis ber-kesimpulam bahwa apa yang dimaksud dan dituju oleh governance dicakup oleh amal saleh.

Begitu tegas tuntutan governance di industri perbankan negri ini, sampai-sampai seorang direksi atau komisaris suatu bank tidak boleh menjabat sebagai direksi atau komisaris di lebih dari dua perusahaan lain. Kebijakan yang membatasi peran ini, berusaha mencegah penyalahgunaan wewenang sebagai pengurus bank, dalam kolusi internal diri sebagai pengurus di perusahaan lain. Demikianlah godaan kekuasaan dan tantangan amal saleh.

Kebijakan pembatasan peran, ditegakkan sebagai suatu hikmah pelajaran atas penyalahgunaan wewenang yang berakhir dengan krisis 1997. Penulis bersangka, bahwa para pejuang kebijakan telah berfikir keras, bermusyawarah dan kemudian men-sahkan kebijakan ini mendasarkan pada pemikiran dan data. Mereka telah melalui suatu dinamika polemik besar tentang prasangka baik dan buruk terhadap insan-insan di sektor finansial dan sektor riil, yang tak lain adalah dirinya sendiri juga. Atas upaya tersebut, penulis sampaikan hormat penulis karena perjuangan amal saleh insan-insan tersebut. Dengan semakin stabilnya ekonomi makro negri di dekade kemarin, terasa berkah Yang Maha Menjaga atas penerapan kebijakan tadi.

Amal saleh sebagai profesional dan pengusaha penting kedudukannya dalam menjaga kestabilan ekonomi lingkungan, namun... pembaca (termasuk penulis) jangan melupakan amal saleh sebagai bapak/anak/istri/kakak/adik/teman/tetangga dan sebagainya. Yang dimaksud adalah untuk tidak ekstrim/radikal/berlebih-lebihan dalam beramal sebagai profesional dan pengusaha sehingga lupa beramal kepada suami/istri, anak, keluarga, teman dan tetangga yang jauh dan yang dekat. Jangan pula lupa makan, minum, tidur dan kebutuhan biologis lainnya sebagai manusia biasa. Tidak lengkap pula tanpa kewajiban/kebutuhan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga kita dikaruniakan kemampuan untuk dapat mendudukkan urusan-urusan secara pas dan pada tempatnya, dengan kesadaran bahwa hasil adalah urusan Allah SWT.

Tidak sia-sia dalam keyakinan penulis. Amal saleh dihargai sebagai amal terbaik oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh seorang kawan, 'amal saleh' dinyatakan sebagai suatu amal yang tingkatannya diatas 'amal baik yang banyak'. Seseorang yang beriman dan beramal saleh diberikan perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Seseorang yang beriman dan beramal saleh dijanjikan suatu kehidupan yang melegakan dan menyenangkan secara abadi di kehidupan akhirat dari Sang Pencipta.

Salam Penutup

Penerapan amal saleh bagi diri pembaca dan bagi diri penulis bisa berbeda, walaupun dalam prinsip tetap sama, sehingga sangat kasuistik. Untuk setiap kasus/perkara/masalah yang ditemui dalam perjalanan, amal saleh membutuhkan ketekunan ikhtiar dan ijtihad (pengusahaan dan pemaknaannya). Dalam perjalanan ikhtiar dan ijtihad itu, Insya Allah ditemukan dan diperkokoh format-format pengawasan diri. Sedemikian sehingga disiplin beramal saleh, meningkatkan probabilitas kemenangan nafsu baik atas nafsu rendahan di dalam diri.

Bagi penulis, amal saleh bukanlah suatu urusan sepele canda-gurau warung kopi, walaupun anjuran ini bisa disampaikan kepada teman dan sahabat dengan bahasa yang ringan dan senyum tawa ikhlas sambil nongkrong nyeruput kopi es. Doa seseorang yang beriman dan beramal saleh kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia, adalah suatu suplemen pahala bagi almarhum. Oleh karenanya, iman dan amal saleh merupakan bakti diri dan ucapan terima kasih pada orang tua.

Salam

Senin, 09 Juli 2007

Perbaikan Proses Bisnis

Perbaikan proses bisnis (atau proses kerja) adalah esensi utama yang memvalidasi keberadaan sistem dan teknologi informasi. Cobalah kita lihat, suatu sistem atau teknologi informasi diaplikasikan pada suatu proses bisnis dalam rangka perbaikan proses bisnis tersebut.

Apa itu proses bisnis?
Dalam pendapat pribadi, proses bisnis adalah suatu keilmuan yang berasal dari ilmu teknik industri. Saya masih ingat sekali, ilmu ini dipelajari di mata kuliah analisa dan perancangan kerja di Teknik Industri Universitas Indonesia. Inti darinya adalah bagaimana caranya menganalisa dan merancang suatu pekerjaan sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Apabila kita simak, bukankah perbaikan proses bisnis/kerja bertujuan agar pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien?

Bagaimana memperbaiki proses bisnis?
Perbaikan proses bisnis melalui tahapan yang berkesinambungan antara analisa, perancangan, uji-coba dan pembiasaan. Dari tahapan ini dapat dilihat bahwa perbaikan proses bisnis adalah suatu litbang. Analisa suatu proses bisnis diawali dengan keinginan memperbaikinya selanjutnya perhatian pada pelaku proses dan teknik-teknik mempertajam analisa. Perancangan proses bisnis dilakukan melalui teknik-teknik pemetaan/perekaman proses bisnis (akan saya jelaskan satu teknik dalam artikel ini). Hasil rancangan terbaik kemudian diuji-coba dan selanjutnya pelaku proses meng-adaptasi terhadap proses bisnis baru yang telah diuji-coba untuk membiasakan diri sampai menjadi keseharian kerjanya.

Apa pemikiran dasar dari perbaikan proses bisnis?
Proses bisnis sebagai sesuatu yang dilaksanakan untuk memberikan nilai tambah, terdiri atau merupakan suatu kumpulan dari aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan oleh satu atau lebih pelaku proses. Aktifitas-aktifitas inilah yang sebetulnya diperbaiki/di-enhance agar proses bisnis tersebut lebih efektif dan efisien. Apabila kita analisa dalam suatu proses bisnis terdapat aktifitas-aktifitas bersifat klerikal dan administratif, ia memakan waktu dan biaya tetapi tidak memberikan nilai tambah. Dalam bahasa teknik industri, ini disebut waste. Waste adalah cost without value. Perbaikan proses bisnis dilakukan dengan cara meng-eliminasi dan me-reduksi waste sepadat mungkin.

Kebanyakan waste ditemukan ditingkat transactional.
Dari pengamatan saya, waste kebanyakan terdapat dalam proses bisnis transactional. Sebaiknya kita memulai dari tingkat ini jika ingin memperbaiki proses bisnis melalui eliminasi/reduksi waste dengan memberdayakan kemampuan otomatisasi teknologi. Proses bisnis pada tingkat knowledge worker, manajerial, pengambilan keputusan secara esensi tidak di-eliminasi tetapi lebih diberdayakan oleh teknologi karena didalamnya ada aspek koordinasi dan komunikasi.
Teknik pemetaan dan cara memperbaiki proses bisnis.Seperti disebutkan sebelumnya proses bisnis merupakan kumpulan/terdiri dari aktifitas-aktifitas. Aktifitas dalam proses bisnis intinya dapat disimplifikasi menjadi lima jenis seperti dalam diagram/gambar dibawah ini.

Pemetaan proses bisnis dilakukan dengan memperhatikan aktifitas didalamnya dan membuat suatu aliran kerja/flow chart.

Untuk memperbaiki proses bisnis diperlukan pemahaman tentang kemampuan dan peluang-peluang yang disediakan oleh teknologi. Ke-sepasangan pemahaman proses bisnis dan teknologi adalah landasan dari perancangan proses bisnis baru yang lebih baik.

Untuk memulai upaya perbaikan, perhatikan peta proses bisnis kita. Lalu gunakan rumus-rumus dibawah ini:

Level I. Business Process Improvement
Sedapat mungkin eliminir delay atau probabilitasnya dalam proses bisnis karena delay pada esensinya adalah waste. Eliminir dan reduksi transport dalam proses bisnis dengan dukungan teknologi. Reduksi waktu atau resources yang diperlukan untuk melakukan operation, checking, storage dalam proses bisnis dengan dukungan teknologi.
Level II. Business Process Reengineering
Apakah ditemukan double work? Apakah ditemukan suatu aktifitas (operation, checking, storage) yang sudah dilakukan sebelumnya kemudian dilakukan lagi selanjutnya? Apakah ditemukan suatu aktifitas yang sudah dilakukan di proses bisnis lainnya kemudian dilakukan dalam proses bisnis ini? Apabila ditemukan, klarifikasi hal ini dengan pelaku proses tanyakan mengapa hal ini dilakukan. Terkadang tanpa disadari hal ini dilakukan karena memang sudah sejak dahulu dilakukan. Apabila kita berhasil menghilangkan suatu aktifitas dari suatu proses atau mereduksi waktu dari suatu aktifitas kita telah melakukan perbaikan di tingkat yang lebih advanced yaitu Business Process Reengineering.

Level III. Business Process Innovation.
Pada tingkat ini kita telah memahami jiwa dari proses bisnis tersebut dan anda siap melakukan tingkat yang lebih advanced lagi yaitu Business Process Innovation. Di tingkat ini kita seakan-akan merancang proses bisnis dari nol... dari awal... dengan pemahaman akan lingkungan kerja serta kapabilitas dan potensi pelaku proses tanpa diganggu oleh kotak-kotak struktur organisasi. Secara esensi kita telah faham tentang proses-proses dan aktifitas-aktifitasnya. Pola pikir Business Process Innovation tidak diganggu pengelompokan aktifitas berdasarkan proses bisnis tetapi dilandaskan pada orientasi tujuan yang menjadi latar belakang mengapa aktifitas-aktifitas dilakukan. Dengan demikian kita merancang suatu proses baru dengan secara penuh memberdayakan teknologi dengan tetap mempertahankan tercapainya tujuan dari proses-bisnis sebelumnya.

Dampak perbaikan proses bisnis
Dari sudut pandang yang kurang enak... perbaikan proses berarti perubahan terhadap sistem, proses dan aktifitas yang saat ini sedang berlaku di organisasi kita. Banyak yang bilang bahwa perubahan kurang disukai oleh banyak orang, adapun perlu kita sadari bahwa berubah untuk kebaikan adalah sesuatu yang baik. Perbaikan pada proses bisnis memberikan sumbangsih bagi perbaikan organisasi yang mana kemudian memberikan sumbangsih bagi kepentingan khalayak yang lebih ramai lagi. Proses bisnis yang lebih efektif dan efisien membuat organisasi kita menjadi lebih efektif dan efisien. Adapun Perbaikan proses bisnis harus dibarengi dengan pemahaman makna dari perbaikan ... dan pengembangan keahlian untuk melakukan proses bisnis baru bagi pelaku proses ... sehingga dampak positif dari perbaikan dapat menjadi baik (Insya Allah).